Beranda | Artikel
Bidah Syaban
Senin, 23 September 2013

BID’AH SYA’BAN

Pertanyaan
Apakah yang dimaksud Sya’baniah yang dirayakan banyak orang di Afrika Selatan?

Jawaban
Alhamdulillah.

Sebagian kaum muslimin merayakan malam nisfhu Sya’ban, mereka berpuasa di siang harinya dan melaksanakan shalat malam di malam harinya. Dalam masalah ini terdapat hadits yang tidak shahih. Karena itu para ulama menganggap tindakan menghidupkan malam ini dengan perayaan sebagai bid’ah.

Asy-Syatibi rahimahullah berkata, “Jika demikian, bid’ah adalah inovasi dalam cara beragama yang menandingi ketentuan syariat, tujuannya melakukan satu cara yang berlebihan dalam rangka beribadah kepada Allah Ta’ala. Di antaranya adalah rutin melakukan salah satu cara atau bentuk tertentu, seperti berzikir dengan cara berkumpul dalam satu suara, atau menjadikan hari kelahiran Nabi shallallahu alaihi wa sallam sebagai hari raya, dan yang semacamnya.

Di antaranya rutin dalam pengamalan ibadah tertentu di waktu tertentu padahal ketetapannya tidak ada dalam syariat. Seperti rutin berpuasa pada hari Nishfu Sya’ban dan shalat malam pada malam harinya.” [Al-I’tisham, 1/37-39]

Muhammad Abdussalam As-Suqairy berkata, “Imam Al-Fatany berkata dalam ‘Tazkiratul Mau’dhu’aat’, ‘Di antara perbuatan bid’ah pada malam Nisfhu Sya’ban adalah Shalat Alfiyah, yaitu shalat seratus rakaat, yaitu dengan membaca surat Al-Ikhlas sepuluh sepuluh secara berjamaah. Mereka memperhatikannya lebih dibanding shalat Jumat atau hari raya. Tidak ada riwayat shahih atau atsar shahih dalam masalah ini, kecuali riwayat yang lemah dan maudhu (palsu). Janganlah seseorang terpedaya hanya karena masalah ini disebutkan oleh pengarang kitab Quthul Qulub atau Ihya Ulumuddin atau selain keduanya, juga tidak terpedaya oleh tafsir Ats-Tsa’laby yang menganggapnya bahwa malam ini (Nisfhu Sya’ban) adalah Lailatul Qadar.

Al-Iraqi berkata, “Hadits tentang shalat pada malam Nisfhu Sya’ban adalah batil.”

Ibnu Al-Jauzi meriwayatkan dalam kitab Al-Maudhu’at, bab tentang hadits shalat dan doa pada malam Nisfhu Sya’ban,

 إِذَا كَانَتْ لَيْلَةُ النِّصْفِ مِنْ شَعْبَانَ، فَقُومُوا لَيْلَهَا وَصُومُوا نَهَارَهَا، الحديث رواه ابن ماجه عن علي

Jika datang malam Nisfhu Sya’ban, dirikan shalat di malam harinya dan berpuasalah di siang harinya.” [Hadits diriwayatkan oleh Ibnu Majah dari Ali]

Mahsyiah berkata, “Dalam kitab Az-Zawaid dikatakan bahwa sanadnya dha’if, karena Ibnu Abi Busrah dianggap lemah. Ahmad dan Ibnu Ma’in berkata bahwa dia memalsukan hadits.

Shalat enam rakaat pada malam Nisfhu Sya’ban dengan niat menolak bencana, panjang usia dan kecukupan dari manusia, lalu membaca surat Yasin dan berdoa di sela-selanya, tidak diragukan lagi bahwa itu ada perkara yang diada-adakan dalam agama dan bertentangan dengan sunah pemimpin para rasul. Pemberi keterangan pada Kitab Ihya Ulumuddin berkata, ‘Shalat ini telah masyhur dalam kitab-kitab belakangan dari para tokoh kalangan tasawuf, saya tidak melihat adanya landasan pada perbuatan tersebut beserta doanya dalam hadits yang shahih, kecuali bahwa hal tersebut dikenal sebagai amalan para tokoh spiritual. Para ulama dari kalangan kami berkata, ‘Dimakruhkan berkumpul untuk menghidupkan malam-malam yang telah disebutkan ini di masjid-masjid atau selainnya.’ An-Najm Al-Ghaiti berkata tentang tata cara menghidupkan malam Nisfhu Sya’ban secara berjamaah, ‘Mayoritas para ulama Hijaz telah mengingkari perbuatan ini, di antara mereka adalah ; Atha bin Abi Mulaikah, para ahli fiqih Madinah dan murid-murid Imam Malik. Mereka berkata, ‘Semua itu adalah bid’ah, melaksanakannya secara berjamaah tidak ada dalilnya yang shahih sedikitpun dari Nabi shallallahu alaihi wa sallam, juga tidak dari para shahabatnya.’ Imam Nawawi berkata, ‘Shalat Rajab dan Sya’ban merupakan dua bid’ah dan kemunkaran… dst.” [As-Sunan Wal Mubtada’at, hal. 144]

Al-Fatani rahimahullah berkata setelah ucapannya yang telah dikutip di atas, “Dikalangan awam shalat ini telah menimbulkan fitnah yang besar sehingga karena sebab ini banyak terjadi penyimpangan, kefasikan dan dilanggarnya perkara-perkara haram yang tak dapat dipungkiri. Sehingga para ulama takut diturunkannya bencana karena sebab ini, sehingga mereka menyingkir ke tengah padang pasir.

Perbuatan bid’ah ini pertama kali muncul di Baitul Maqdis pada tahun 448 H. Zaid bin Aslam berkata, “Tidak kami dapatkan seorang pun dari para guru kami yang menghiraukan malam bara’ah (kebebasan) dan keutamaannya dibanding malam lainnya. Siapa yang beramal berdasarkan riwayat yang jelas bahwa dia riwayat dusta, maka sesungguhnya dia termasuk pembantu setan.” [Tazkiratul Maudhu’at, Al-Fatani, hal. 45]

Silakan rujuk kitab Al-Maudhu’at, Ibnu Jauzi, 2/127, Al-Manar Al-Munif Fi Ash-Shahih wa Adh-Dha’if, Ibnu Qayim, hal. 98, Al-Fawaid Al-Majmuah, Asy-Syaukani, hal. 51.

Sebagian masyarakat menamakan Asy-Sya’baniyah untuk hari-hari terakhir di bulan Sya’ban. Mereka berkata, ‘Ini merupakan hari-hari perpisahan terhadap makan, maka gunakanlah kesempatan untuk makan sebelum datang bulan Ramadan. Sebagian ahli Bahasa bahwa sumber hal tersebut diambil dari orang-orang Nashrani, mereka dahulu melakukannya sebelum mereka mulai berpuasa.

Kesimpulannya, tidak ada perayaan di bulan Sya’ban, tidak juga ada ibadah khusus di tengahnya dan di akhirnya. Perbuatan tersebut merupakan bid’hah dan perkara-perkara baru dalam agama.

Wallhua’lam.

Disalin dari islamqa


Artikel asli: https://almanhaj.or.id/3727-bidah-syaban.html